Sabtu, 21 Juli 2012

Kebudayaan Sambas banyak dengan keragaman suku dan agama serta yang lainnya, walaupun demikian tetap aman dan tentram. cintailah daerah mu seperti kamu mencintai diri mu sendiri

Kamis, 05 Juli 2012

Tragedi Sambas

Tragedi Sambas

masih basah dalam ingatan:
lengking sangkakala purba
di malam betina

desis parang peluru nyanyian sumbang
di malam hari
jiwa-jiwa sudah lupa arti hidup 
dan mati

berpuluh tahun berpeluh darah,
merenda luka, demi segaris tawa,
lenyap kerna para pemantik angkara

ada yang memilih mati demi hargadiri
ada yang tanggalkan kutang dan celana
demi setunggal nyawa

bocah bocah mencangkung di sisi tubuh ayah ibunya yang beku 
tiada henti menggosok-gosokan punggung jemari pada sudut mata yang luka
"ayah... ibu... siapa besok yang siapkan makan pagiku? siapa besok yang betulkan letak kancing bajuku?''

ternyata sangkakala itu milik manusia purba:
melihat manusia lain tanpa kelamin dan usia.

Penyebab Kerusuhan Sambas

KOMPAS
Kamis, 22 Apr 1999

Tragedi Sambas Menurut Antropolog dan Sosiolog

BENTURAN BUDAYA DAN RASA KEADILAN

TRAGEDI Sambas sudah berlangsung dua bulan, menghancurkan sekitar 3.000 rumah, dan menewaskan lebih 200 orang. Mengapa amuk massa di Sambas bisa terjadi? Kata antropolog senior dari Universitas Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan (61), “Itu ungkapan frustrasi sosial yang mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan orang-orang Melayu atas perbuatan sewenang-wenang orang Madura sebelumnya.”

Parsudi menarik kesimpulan itu sesudah memimpin tim pakar bentukan Markas Besar Kepolisian RI membuat penelitian di tempat kerusuhan, 9-20 April 1999. Mereka meneliti di tiga wilayah kajian, yaitu Pontianak, Sambas/Singkawang, dan desa-desa kantung konflik. Tim itu beranggota pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi: Prof Dr S Budhisantoso, Prof Dr Sardjono Jatiman SH, Prof Dr Sarlito W Sarwono, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Bersama mereka ada dua polisi dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Letkol (Pol) Drs Bambang Wahyono MSi dan Letkol (Pol) Drs Agus Wantoro MSi. 

Tim ini mewawancarai masyarakat Melayu, Dayak, dan Madura. Mereka mendatangi warga di desa/kecamatan seperti di Pemangkat dan Jawai (Kabupaten Sambas), bertatap muka dengan masyarakat Melayu di Keraton Sambas, dan masyarakat Melayu/Dayak di aula mes pemda setempat di Singkawang. Wawancara dengan tokoh Madura Singkawang dilakukan di hotel di Singkawang, demi keamanan bersama.
***



MENURUT Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI, penyebab kerusuhan adalah faktor kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan sumber daya dan lingkungan). Orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan Sunda, menghindari konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan lingkungan akibat pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil, tak ada demokrasi berpolitik dan berbudaya. Hutan-hutan mereka diambil untuk keperluan pengusaha HPH. Mereka menghadapi masyarakat Madura yang sebagian besar mencari keuntungan materi dengan cara apa pun.

“Orang Melayu-seperti orang Dayak-mencari nafkah sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika arus pendatang makin deras, orang Melayu melihat, lapangan kerja yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata membuahkan keuntungan, misalnya sektor angkutan umum. Orang Melayu bukannya kalah bersaing, tetapi dalam budayanya sudah ditanamkan untuk menghindari konflik,” katanya.

Benturan budaya yang semakin kuat membuat orang Melayu akhirnya meledak. Persoalannya, masyarakat Melayu belum menyiapkan pranata untuk memenangkan persaingan menguasai sumber daya. Yang ada  sekarang, mereka tetap merasa diri terinjak-injak dan teraniaya. Persoalannya menurut sosiolog UI Prof Dr Sardjono Jatiman (58), masyarakat pendatang memiliki kultur kekerasan. Katanya, “Untuk menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan senjata. Mereka memiliki budaya miskin yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadilah benturan-benturan budaya.”

Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie mengungkapkan, solusi jangka pendek adalah mengeluarkan untuk sementara waktu warga Madura dari kantung-kantung konflik di Kabupaten Sambas. Sesudah itu, tambah Sardjono, mereka meminta maaf kepada masyarakat Melayu (dan juga Dayak).
***

PERTIKAIAN antaretnis yang terjadi berulang kali di Kalbar, menurut Sardjono, karena masing-masing kelompok tidak belajar dari pengalaman untuk hidup bersama secara menguntungkan. “Ibaratnya, pelajar sekolah tidak naik kelas berkali-kali. Dan kalau sampai sebelas kali, itu sudah keterlaluan,” katanya.

Parsudi Suparlan melihat masyarakat pendatang tidak belajar dari diri sendiri dan dari orang lain. Tegasnya, “Kok di daerah lain orang Madura bisa akur, tetapi di Kalbar selalu bertikai. Ini disebabkan masyarakat Melayu tidak tegas menuntut.” Menurut Parsudi, masyarakat Madura menyadari kekeliruan mereka. Dalam pertemuan dengan tim pakar Mabes Polri, mereka bersedia mengoreksi warganya yang melanggar hukum. Perbuatan oleh pribadi dan individu, tidak boleh dianggap sebagai perbuatan kelompok. Kalau satu orang mencuri, satu kampung tidak kemudian “mendukung” individu yang berbuat salah, seperti yang terjadi selama ini. 

Singkatnya, kata Sardjono, aturan main harus adil. Pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui lembaga adat dan proses penegakan hukum yang adil. Tetapi ini semua tidak terjadi di Sambas. Kasus penyerangan perkampungan Melayu di Desa Parit setia (Kecamatan Jawai) oleh masyarakat Madura pada Hari Idul Fitri 19 Januari, kata Budhisantoso, seharusnya dapat diselesaikan melalui proses hukum yang adil. Masyarakat Melayu melihat dan mengalami ketidakadilan ini bukan cuma satu-dua kali, tetapi sudah bertahun-tahun. Mereka merasa seperti dijajah. Kemarahan terungkap dalam amuk massa, karena menganggap hukum tak lagi adil. Dalam berbagai kasus, begitu ada warga pendatang ditangkap polisi, satu kampung mendatangi kantor polisi dan mengintimidasi petugas serta pihak yang melaporkan mereka. Warga melihat petugas tidak tegas karena dengan mudahnya melepaskan penjahat, preman yang meresahkan, hanya karena uang. Rasa keadilan yang tidak terpenuhi serta benturan-benturan budaya yang terjadi lebih 50 tahun lamanya di Sambas, melahirkan “pengadilan rakyat” yang membuahkan sebuah tragedi umat manusia. 

PELESTARIAN KEBUDAYAAN MUTLAK

SAMBAS – Tak dapat dipungkiri bahwa Kebudayaan adalah suatu kompleksitas. Kompleks yang menjadikan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat membaur menjadi satu. Sebagai pantulan cermin martabat suatu bangsa, budaya adalah nilai-nilai luhur yang harus dan terus dilestarikan. Dan bagi sebagian pemerhati kelestarian budaya, tidak hanya cukup dengan dilestarikan, tetapi harus diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Wakil Bupati Sambas, dr Hj Juliarti Dj Alwi pada saat membuka Festival Budaya Kab Sambas beberapa waktu lalu mengatakan Kabupaten Sambas dengan cakupan wilayah yang cukup luas dengan 19 Kecamatan sarat dengan kekayaan seni dan budaya. Hanya saja menurut dia sepertinya pelestarian belum menjadi perhatian semua komponen atau stake holders. “Kabupaten Sambas kaya akan seni dan budaya, hanya saja sekarang ini sepertinya sudah mau menghilang,” ingat dia. Oleh karena itu, dia mengharapkan pelestarian dan pewarisan nilai seni dan budaya kabupaten sambas dapat menjadi perhatian semua komponen. Juliarti mengajak agar budaya yang ada sekarang dapat dipertahankan dan dipelihara kelestariannya. Bahkan menurut Ketua BNK Kab Sambas ini, sambas memiliki banyak keunikan seni budaya dibandingkan dengan seni budaya lain. Dan hal tersebut sangat potensial untuk dipromosikan menjadi aset yang dapat mendatangkan income bagi pariwisata seni budaya bumi terigas ini. “Untuk itu, kita perlu menanamkan kepada diri pribadi dan generasi penerus kita agar mencintai seni dan budaya yang kita miliki. Jika sudah ada rasa memiliki, insyaallah akan memberikan dampak positif bagi upaya pelestariannya,” imbuh dia.
Pemerintah Kabupaten Sambas dalam menggeliatkan Seni dan Budaya Kabupaten Sambas telah mengambil kebijakan beberapa program. Diantaranya menggelar Pagelaran Seni Budaya yang dinamakan Terang Bulan Di Sambas (TARBUS). Tarbus merupakan pagelaran seni budaya yang dikoordinir Dinas Komunikasi Budaya dan Pariwisata (Kombudpar) Kab Sambas dan diisi oleh pementasan seni budaya dari masing-masing kecamatan di Kabupaten Sambas. Selain itu, Pemkab juga banyak mendukung kegiatan pengembangan dan pelestarian seni budaya serta pariwisata yang juga dikoordinir langsung Dinas Kombudpar Sambas. Gedung Kesenian yang dalam proses finishing juga merupakan salah satu upaya pemda dibidang ini. “Perlunya persiapan kita dibidang seni budaya ini tidak lain guna menghadapi persaingan bebas dan era globalisasi. Kaitannya adalah untuk kedepannya, seni budaya yang kita miliki tentunya mempunyai nilai jual. Apalagi rencana pembukaan border akan segera terealisasi dan tidak menutup kemunkinan wisatawan luar akan berkunjung ke Sambas melalui border aruk-biawak,” ujar dia. Karena seperti di Bali, seni budaya mampu memberikan income yang besar bagi pemasukan keuangan daerahnya. Dan mengapa tidak untuk Kabupaten Sambas yang memiliki 1001 seni budaya.
sambas1

Terigas Bukan Hanya Selogan

Sambas,- Perlombaan desa terigas tidak hanya berjalan satu tahun anggaran saja, tetapi diharapkan benar-benar akan memberikan dampak yang positif bagi peningkatan pembangunan daerah Kabupaten Sambas. “Tentunya memberikan jawaban kepada masyarakat bahwa visi terigas bukan hanya sekedar slogan,” ujar Bupati Sambas Ir H Burhanuddin A Rasyid, pada kesempatan tersebut.
Memahami adanya keberhasilan pelaksanaan terigas dalam kaitannya dengan program atau kegiatan unit kerja, jelas bupati, perlu dipahami keterkaitan antara kebijaksanaan yang telah ditetapkan dengan program atau kegiatan sebelum diimplementasikan perlu dievaluasi terlebih dahulu. “Kegiatan evaluasi ini dapat digunakan beberapa kriteria umum seperti relevansi, signifikasi, validitas, obyektivitas, ketepatan waktu, dan kegunaan kebijaksanaan tersebut,” jelasnya.
Rentang waktu satu tahun pelaksanaan Visi Sambas Terigas, lanjut bupati, tentunya dapat dimaklumi masyarakat keberhasilannya sampai tingkat pencapaian manfaat (benefits) dan dampak (impacts) belum dapat dirasakan. “Diharapkan secara bertahap dan berkelanjutan memasuki tahun ketiga atas sasaran yang semestinya, dapat diwujudkan dengan hasil yang lebih baik.”
Bupati berpesan bagi desa yang berhasil sebagai pemenang supaya jangan cepat merasa bangga dan puas karenamasih banyak tantangan kedepan yang perlu disikapi dengan arif, bijak dan rasional. “bagi desa yang belum waktunya untuk menjadi pemenang supaya jangan putus asa dan kecewa. Jadikanlah sebagai evaluasi serta koreksi terhadap faktor-faktor yang menjadi penghambat untuk kemajuan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat ke depan,” pesannya. (zrf/pk)< Perlombaan desa terigas tidak hanya berjalan satu tahun anggaran saja, tetapi diharapkan benar-benar akan memberikan dampak yang positif bagi peningkatan pembangunan daerah Kabupaten Sambas. “Tentunya memberikan jawaban kepada masyarakat bahwa visi terigas bukan hanya sekedar slogan,” ujar Bupati Sambas Ir H Burhanuddin A Rasyid, pada kesempatan tersebut.
Memahami adanya keberhasilan pelaksanaan terigas dalam kaitannya dengan program atau kegiatan unit kerja, jelas bupati, perlu dipahami keterkaitan antara kebijaksanaan yang telah ditetapkan dengan program atau kegiatan sebelum diimplementasikan perlu dievaluasi terlebih dahulu. “Kegiatan evaluasi ini dapat digunakan beberapa kriteria umum seperti relevansi, signifikasi, validitas, obyektivitas, ketepatan waktu, dan kegunaan kebijaksanaan tersebut,” jelasnya.
Rentang waktu satu tahun pelaksanaan Visi Sambas Terigas, lanjut bupati, tentunya dapat dimaklumi masyarakat keberhasilannya sampai tingkat pencapaian manfaat (benefits) dan dampak (impacts) belum dapat dirasakan. “Diharapkan secara bertahap dan berkelanjutan memasuki tahun ketiga atas sasaran yang semestinya, dapat diwujudkan dengan hasil yang lebih baik.”
Bupati berpesan bagi desa yang berhasil sebagai pemenang supaya jangan cepat merasa bangga dan puas karenamasih banyak tantangan kedepan yang perlu disikapi dengan arif, bijak dan rasional. “bagi desa yang belum waktunya untuk menjadi pemenang supaya jangan putus asa dan kecewa. Jadikanlah sebagai evaluasi serta koreksi terhadap faktor-faktor yang menjadi penghambat untuk kemajuan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat ke depan,” pesannya.

Kesultanan Sambas

istane12
Kesultanan Sambas adalah kerajaan yang terletak di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di Kota Sambas. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran “Nek” yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam.
Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama “Kota Lama”. Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di “Kota Lama” dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama “Panembahan Sambas”. Raja Panembahan Sambas ini bergelar “Ratu” (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bun
gsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sult
an Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.